Sabtu, 02 November 2019

3 Jam Berjalan Menyusuri Royalan | Sebuah Tradisi Budaya di Semboro Jember

Wawan Setiawan Tirta
Royalan di PG Semboro 
Royalan adalah sebuah tradisi yang muncul dalam bumi Pandalungan Jember. Sebuah tradisi budaya yang lahir, tumbuh, bertahan, dan berkembang sesuai dengan realitas zaman. Di Kecamatan Semboro, yang ada di bagian barat Kabupaten Jember.

Royalan adalah sebuah acara yang sudah ada sejak zaman pendudukan Belanda. Setidaknya itulah informasi yang saya dapat dari beberapa situs yang membahas Royalan di laman internet. Royalan awalnya merupakan semacam pesta dan selamatan menyambut proses panen dan penggilingan tebu. Awalnya merupakan acara yang sakral berisi muatan budaya dan pesta bagi pembesar Belanda. Muatan tradisi dan budaya yang ada dalam acara Royalan adalah adanya ruwatan. Seiring perkembangan zaman, Royalan juga diisi dengan acara istighasah dan doa bersama meminta keselamatan selama proses giling tebu.


Perkembangan termutakhir, Royalan juga diisi hiburan tradisi dan hiburan masa kini. Ada pagelaran wayang hingga orkes dangdut. Tetapi saya masih belum bisa menyaksikan langsung. Meskipun sebagian orang mengatakan ada pergeseran dan menghilangnya kesakralan dalam acara Royalan, tetapi masih ada yang bertahan sejak dulu, yaitu: Pasar Rakyat.

Royalan sekarang lebih bermakna taman hiburan rakyat yang menyediakan stan untuk produk dari masyarakat baik berupa barang maupun jasa. Selain itu ada pula wahana hiburan berupa komidi putar alias kincir angin alias dermolen, (istri saya menyebutnya: tas-tasan) karena bentuk keranjang yang dinaiki mirip tas jinjing.

Menurut istri saya, istilah Royalan sebenarnya sama saja dengan istilah pasar rakyat atau THR (taman hiburan rakyat). Tetapi hanya Semboro yang punya Royalan. Royalan kemungkin berasal dari kata royal bahasa Jawa. Royal dalam bahasa Jawa semakna searti dengan habis-habisan. Habis-habisan untuk memberikan sesuatu juga habis-habisan untuk membelanjakan sesuatu.

Mengapa habis-habisan? Karena semua ada di situ. Seperti pada Kamis (5 Mei 2016) saya mengantarkan istri, adik ipar, dan ibu mertua jalan-jalan di Royalan. Sepeda terlebih dulu diparkir di bantaran antara dua sungai irigasi. Perlu diketahui bahwa, Pabrik Gula (PG) Semboro dikelilingi oleh sungai irigasi, di bagian kiri ada sungai yang besar, tepat di sudut timur selatan PG Semboro merupakan simpang lima yang juga merupakan dam persimpangan saluran irigasi. Ada sungai yang cukup besar melintang dari arah timur ke barat. Berjajar dengan jalan di bagian depan PG Semboro. Sepanjang jalan yang melintang itulah stan produk masyarakat dipamerkan.

Waktu itu kami berjalan kaki, menyusuri stan demi stan yang ada di kanan-kiri jalan. Puluhan, mungkin ratusan lapak yang menawarkan produknya. Berbagai macam produk dan jasa. Mulai dari penjual cilok hingga dealer motor dan CV yang menyediakan jasa konstruksi membuka stan. Ramai, meriah dan cukup macet. Padahal waktu itu adalah malam Jumat Legi. Pengunjungnya cukup banyak.

Ketika baru datang, kami hanya melihat-lihat dengan lirikan-lirikan tanpa mengamati dengan mendalam masing-masing produk yang dijual. Tujuan utama kami (lebih tepatnya tujuan istri dan adik) adalah wahana Komidi Putar di ujung barat. Bayangkan lebih dari satu kilometer kami berjalan kaki dari ujung timur stan Royalan karena wahana komidi putar ada di ujung barat. Tentu itu siksaan yang cukup berat untuk orang setambun saya.

Penat kaki tidak begitu terasa ketika sampai di ujung barat Royalan, karena baru datang. Sambil menunggu istri, adik, dan mertua naik tas-tasan saya melihat-lihat wahana lain yang ada di situ. Selain ada tas-tasan juga ada helikopter-helikopteran dan kuda-kudaan serta boneka yang diputar secara manual oleh petugasnya. Ketiga wahana itu cukup sepi dibanding wahana tas-tasan yang diputar menggunakan mesin diesel. Mungkin karena yang mau naik wahana itu tidak tega melihat petugas yang bercucuran keringat menjaga wahana tetap berputar.

Wahana lain yang dikhususkan untuk anak-anak adalah rumah balon, mandi bola, dan perahu karet. Ketiganya banyak yang menikmati, semuanya anak-anak. Bahkan di wahana perahu karet mini yang bisa dinaiki oleh satu anak, perahu karet sama sekali tidak bisa bergerak. Tidak ada ruang sama sekali untuk menggerakkan perahu karet meskipun ada dua buah dayung di masing-masing perahu. Kasihan juga melihat anak-anak kecil mendayung sekuat tenaga tetapi perahunya tidak bergerak.

Ada pula wahana kereta naga yang begerak memutar di atas rel yang membentuk lingkaran. Waktu itu hanya ada dua anak yang menaiki. Ada pula wahana yang sama sekali tidak dimanfaatkan oleh pengunjung yaitu ATV mini. Seorang petugas memperbaiki mesin motor kecil seukuran sepeda roda tiga.  Semua wahana tersebut ada di selatan sungai yang ada di selatan PG Semboro.

Waktu itu tanah tempat wahana tersebut becek karena sore harinya Semboro dan sekitarnya diguyur hujan yang cukup deras. Namun itu tidak menyurutkan minat pengunjung untuk memadati wahana tersebut. Oleh karena itu banyak pengunjung yang alas kakinya belepotan lumpur. Akhirnya, istri turun dari tas-tasan setelah foto-foto sedikit, kami bergerak menyebarangi jembatan di atas sungai yang airnya surut tidak mengalir. Bergerak ke arah timur. Jika berangkatnya tadi berjalan dengan cepat, kali ini kami berjalan lebih santai.

Tiba di bebarapa lapak yang menyediakan barang menarik, kami berhenti. Melihat-lihat. Sekadar melihat atau memang tertarik untuk membeli. Barang-barang yang dijual di situ antara lain mainan berupa boneka maupun aksesoris. Tanaman hias, tanaman buah, bahkan ada stan yang menyediakan bibit buah jeruk yang sudah berbuah. Ada pula yang menjual kaligrafi, produk mebel, makanan ringan, buku, dan benda-benda kebutuhan dapur dengan bentuk yang menarik. Ada kendi tanah liat, ada penggaruk punggung. Ada pula yang menjual aneka jenis pakaian.

Setelah membeli eskrim, istri dan mertua bertahan di stan yang menyediakan pakaian. Sementara saya berada agak jauh. Lebih tertarik mengamati penjual keping VCD. Sepertinya bajakan. Seketika terlintas dalam pikiran saya, kok masih ada yang menjual dan membeli keping VCD bajakan, bukankah pembajakan jauh lebih mudah dengan flashdisk (hehehehe).

Setelah itu, kami bertiga (karena adik jalan dulu jauh di depan bersama teman-temannya) berhenti di stan yang menjual buku. Sama nasibnya dengan keping VCD, buku yang dijual juga merupakan replika dari karya aslinya. Buku yang sempat menarik perhatian saya adalah beberapa judul novel Andrea Hirata dari tetralogi Laskar Pelangi, ada pula novel Ayah yang urung saya beli karena kualitas sampulnya yang buruk. Barcode-nya buram. Ada pula novel Layar Terkembang Novel klasik Indonesia karya Sutan Takdir Alisjahbana. Yang membuat saya enggan membeli novel ini meskipun tertarik karena catatan kaki dalam sampul depan novel tersebut tertulis Novek ini.... . Pakai k bukan l.

Satu hal lagi yang sangat menarik perhatian saya adalah adanya penjual hewan kecomang (keong laut) warna-warni lengkap dengan rumah-rumahannya. Dijual terpisah.  Cangkang kecomang-kecomang itu diwarna dan digambari dengan sangat cantik. Ada-ada saja cara kreatif mendulang rejeki, pikirku dalam hati.

Menjelang ujung timur stan  yang berarti sudah hampir sampai di tempat kami memarkir sepeda, saya bertemu dengan salah satu siswa SMAN 1 Tanggul. Rifal Afif Gozayel biasa dipanggil Jayel adalah siswa ketika saya praktik mengajar di sekolah itu. Untungnya dia masih ingat ketika kusapa. Setelah bercengkrama sebentar dia melanjutkan perjalanan menyusul teman-temannya. Sementara saya masih menunggu istri dan mertua yang masih memilih barang yang ingin dibeli.


Akhirnya kami pulang dengan beberapa barang kecil yang ditenteng istri serta kenangan besar ikut menjadi bagian dari budaya yang lahir di bumi Pandalungan Jember. Setelah mengambil motor di tempat penitipan parkir dengan jasa 3000 rupiah permotor kami pulang ke rumah istri di Gununglincing - Gungungsari - Kecamatan Umbulsari. Sebuah kecamatan di selatan Semboro.